Cintaku belum terungkap

*****
Hari-hariku
berlalu, mungkin lebih dari dua ratus purnama telah kujumpai. Aku tidak lagi
tinggal dikota Mendalo melainkan di desa sederhana yang terdapat di BaLi(Bayung
Lincir). Desa yang indah, sunyi, damai dan memiliki lahan yang luas untuk
bercocok tanam. “Simpang Bayat” itulah kata yang keluar dari seorang tokoh
masyarakat setempat saat aku menanyakan apa nama desa tersebut.
Kini aku
telah lulus sekolah menengah atas. Aku ingin sekali menjutkan ke jenjang
perguruan tinggi dan mengambil fakultas pertambangan di sebuah universitas
terbaik di kota Palembang. Namun apalah daya aku terlahir di kandung badan
orang yang kurang mampu. Berbagai undangan dari kalangan universitas ternama selalu
menghampiriku karena aku termasuk dalam daftar siswa terbaik di sekolahku. Aku hanya
bisa menerima kertas-kertas penting itu. Sampai-sampai ada yang kubuang di tong
sampah depan kelas tanpa membacanya terlebih dahulu.
Aku selalu
meratapi nasib hidupku, terlebih saat teman-temanku sibuk dengan pendaftaran
untuk masuk ke perguruan tinggi. Alangkah enaknya menjadi orang sukses, yang bisa
melakukan segala hal yang kita inginkan. Memiliki banyak uang, rumah besar, aparteman,
dan dapat membuat anak-anak mereka melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Tapi aku
teringat ucapan guru pendidikan agama yang pernah mengatakan bahwa uang bukanlah
satu-satunya harapan manusia. Aku yakin, aku akan tetap bisa kuliah tanpa
bantuan orangtuaku. Aku berencana menundanya sampai tahun depan. Waktu setahun
itu akan kugunakan untuk mencari uang. Dan aku yakin semangat dan do’alah
harapan besar manusia.
*****
Senin, 4
april 2011 aku masuk sekolah. Seperti biasanya kami melaksanakan upacara
bendera merah-putih di awal jam pelajaran. Usai upacara kami masuk kelas
masing-masing, namun aku tak jadi masuk kelas saat melirih sekelompok siswa
berkumpul di muka papan pengumuman. Aku ikut bergabung bersama mereka untuk
mencari tau apa yang sedang disibukkan siswa-siswi Smansa BaLi. Ternyata selembar
syarat pendaftaran perkuliahan. Awalnya aku
tidak memperdulikan itu dan akan pergi meninggakan kerumunan seandainya tak
sempat melihat kata “beasiswa”. Setelah aku membaca kata tersebut aku jadi
seribu kali lebih serius utuk membaca dari awal sampai akhir bahkan kuulangi. Ternyata
ada sebuah berusahaan terkemuka yang memberikan beasiswa penuh kepada siswa
berprestasi dan berada pada daerah operasinya. Setelah dapat memastikan bisa
memenuhi syarat yang di berikan, aku meninggalkan kerumunan dan kembali ke
kelas.
Usai sekolah
segeralah aku kesana-kemari guna memenuhi persyaratan dan berkas-berkas yang
akan ku siapkan. Hari demi hari bergulir, tahap demi tahap kulalui. Hingga tiba
saatnya datanglah pengumuman hasil akhir. Dan,,,,,,,,,
Takdir berkehendak
lain, aku tak jadi menunda rencana kuliahku selama duabelas bulan. Aku berhasil
hadir di salah satu dari sepuluh siswa yang mendapatkan beasiswa sekecamatan
BaLi. Perasaan bertanya, bangga, suka, bahagia dan semua rasa bercampur dalam
satu tetes air mata bahagia pertama saat membuka dan membaca surat dari PTN
Politeknik Negeri Sriwijaya. Dari situ aku benar-benar yakin bahwa uang
bukanlah satu-satunya benda yang di agungkan.
*****
Kota baru,
tempat tinggal baru, tempat belajar baru, teman baru dan semua serba baru itulah
yang terlintas di benakku.
Senin, 5
september 2012 Hari ini adalah hari pertamaku mengikuti perkuliahan di PolSri. “Kaku”
itulah yang kurasakan saat bertemu dan berkenalan dengan teman baru. Sepulang kuliah,
aku bertemu dengan seorang gadis sedang teburu-buru untuk masuk ruangan. Kebetulan
ruang kelasnya berada tepat di depan kelasku. “Hai” itulah kata sapaan yang di
ucapkannya padaku. Namun belum sempat aku membalas salamnya ia sudah masuk
kelas. Sungguh gadis yang manis dan mungkin itu adalah awal perjalanan kisah
cintaku.
Tak terasa tiga purnama sudah memancarkan
cahayanya, aku ingin sekali mengenalnya lebih jauh. Namun perasaan takut selalu
menghalangiku. Dengan berkenalan dengan teman-teman dekatnya aku mencari
informasi tentangnya. Alamat rumah, tanggal lahir dan semua tentangnya. Entahlah,,
rasa itu kian membesar bak bola salju yang menggelinding dari atas bukit. Namun
ketakutan selalu hinggap dihatiku. Sampai-sampai aku rela memandangai wajah
manisnya dari jarak jauh.
*****
Di semester
dua hubungan kami mulai membaik setelah kudapatkan nomor henfon dari sahabatnya,
aku mulai memberanikan diri untuk meneleponnya dan sms dengannya. Rasaku semakin
besar dan kurasa terus membesar. Meskipun aku tau saat ini dia sedang sendiri
tapi rasa takutku belum juga pudar. Sehingga sampai saat ini cintaku masih
terpendam di dalam batu ketakutan.
Petanyaan besar
bagiku “apa yang membuatku seperti ini?”
Entah sampai
kapan aku bisa menemukan palu keberanian dan memusnahkan rasa takutku untuk
mengungkapkannya padamu. Ku terus berharap dan berdo’a kisah cinta belum
terungkap akan segera berakhir.
3 komentar:
hallo kak, seru juga ya ceritanya. :) slm knl kak semoga sukses ya
Makasih,:)
Doakan sj sukses semua. amin
Posting Komentar